WAJAH GANDA PENDIDIKAN DI INDONESIA
Drs. Stefan Sikone, MM
Setiap generasi dari masa ke masa berpikir mengenai bagaimana cara mewariskan nilai-nilai tertentu seperti pengalaman, pengetahuan dan kaidah-kaidah normatif, bagi orang-orang pada generasi berikutnya sesuai dengan lingkungan sosial budaya dan lingkungan fisik di mana mereka berada.
Dalam masyarakat, proses pewarisan nilai-nilai tersebut dilakukan melalui pendidikan. Sejauh ini dikenal tiga bentuk pendidikan yaitu, Pendidikan Informal, Pendidikan Formal, dan Pendidikan Non Formal. Pendidikan Informal berlangsung di dalam keluarga dan lingkungan masyarakat di mana ia berada ‘tanpa harus dipelajari’. Tingkah laku orang-orang yang telah dewasa sudah merupakan contoh konkrit bagi seseorang untuk belajar dan bertindak. Pendidikan formal dilangsungkan secara berjenjang dalam suatu negara melalui lembaga-lembaga pendidikan formal (baca: sekolah) mulai dari Taman Kanak-Kanak sampai dengan Perguruan Tinggi. Pendidikan model ini biasanya diatur secara nasional melalui suatu kurikulum yang ketat dan mewajibkan semua warganya untuk berpartisipasi dalam mensukseskannya (meski sering mengalami perubahan). Sedangkan dalam pendidikan non formal, berupa pendidikan, latihan dan pengembangan (education, training and development). Bentuk pendidikan ini dilaksanakan secara “tidak resmi” dan para peserta yang mengikutinya pun tidak diwajibkan secara formal layaknya pendidikan formal, para peserta dapat mengikutinya secara sukarela sesuai dengan keinginan dan minatnya sendiri-sendiri.
Dalam hubungan dengan pendidikan formal - khususnya dalam konteks di Indonesia, kita patut mengacungkan jempol karena sejak awal kemerdekaan, para pendiri negara (The Founding Fathers), Orde Baru dan kini jaman Reformasi telah bertekad dan membuat berbagai keputusan politik (political will) untuk mencerdaskan kehidupan warganya sebagaimana tercantum dalam Pembukaan dan pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi : “Tiap-tiap warga negara berhak untuk dapat pengajaran” ( ayat 1 ) dan karena itu pula Pemerintah secara tidak langsung “diwajibkan untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengjararan nasional yang diatur dengan Undang-Undang” (ayat 2). Hal mana kemudian ditindaklanjuti (followed up) secara perlahan tetapi pasti melalui didirikannya atau dibangunnya berbagai lembaga pendidikan formal yang kini tersebar di seluruh pelosok tanah air dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas yang memadai guna membantu terselenggaranya pendidikan dan meningkatnya kualitas pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan bangsa.
Bukan hanya itu saja, tetapi juga kemauan baik pemerintah itu pun ditanggapi secara positif oleh masyarakat disertai dengan partisipasi aktif mereka paling kurang dengan tidak mengganggu kegiatan pendidikan selama ini. Amat menarik rasanya ketika melihat bagaimana saudara-saudari kita pada tahun ajaran yang baru berlomba-lomba mendaftarkan diri guna melanjutkan sekolahnya apakah di Sekolah Dasar, Sekolah Lanjutan Tingkat pertama (SLTP), Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA), atau pun Perguruan Tinggi. Belum lagi kalau orang tua dengan jelas-jelas memberikan dukungan misalnya orang tuanya sendirilah yang antrian di depan kantor sebuah sekolah untuk mendaftarkan anaknya. Ini semua tanda positif bahwa pada umumnya masyarakat kita sudah menyadari betapa penting dan aktualnya pendidikan bagi tiap warga masyarakat.
Oleh karena baik tekad pemerintah maupun keikutsertaan masyarakat ini maka sekarang kita boleh berbangga dapat menyaksikan bahwa pendidikan kita dalam sekolah sudah sangat maju dan berkembang. Perkembangan-perkembangan yang dimaksud ditandai oleh perhatian khusus yang diberikan pada dimensi manusia dalam pemikiran pendidikan, pembangunan gedung-gedung sekolah untuk menampung arus murid yang semakin bertambah dari tahun ke tahun, pembaharuan pada kurikulum dan isi pendidikan serta metode pengajarannya. Dari sisi lain harus diakui juga bahwa dalam masyarakat sekarang sudah terdapat banyak orang yang terpelajar, terdidik dibandingkan dengan masa sebelum kemerdekaan atau awal kemerdekaan.
Meskipun kita boleh berbangga karena salah satu “proyek besar” bangsa kita yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa telah berhasil akan tetapi kebanggaan tersebut tidak boleh membuat kita lupa diri. Kita mesti berbesar hati membuat evaluasi dan melihat sisi lain (aspek negatif) yang muncul berbarengan dengan ekspansi pendidikan yang kini semakin meluas dan melebar, bukan saja dari segi fisik tetapi juga dari segi pertambahan lulusan yang terus meningkat setiap tahun.
Memang ekspansi (perluasan) pendidikan yang kita rasakan saat ini sangat membanggakan dan tentunya juga mempertinggi kebanggaan nasional kita sebagai bangsa tetapi harus juga diantisipasi dan diwaspadai karena semakin banyak lulusan setiap tahun akan juga membawa resiko tersendiri. Bila tidak diimbangi dengan kebutuhan tehnis yang diperlukan oleh masyarakat dan negara maka sangat mungkin timbul emosi yang meletup-letup dan ketidakpuasan dari orang-orang yang belum tertampung di dunia kerja dan hal ini memperbesar ancaman serta tekanan politik di dalam masyarakat. Para lulusan yang belum atau bahkan tidak berkesempatan mendapat pekerjaan akan menyulut kecemburuan-kecemburuaan dan kekerasan sosial di dalam masyarakat.
Sinyalemen ini perlu diantisipasi dan diwaspadai karena pada umumnya semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang dan tidak memperoleh pekerjaan yang layak maka perilaku orang itu akan semakin ekstrim bahkan mendestabilisir sistem sosial dan sistem politik yang ada di dalm masyarakat.
Melihat “wajah lain” dari pendidikan kita inilah maka sangatlah diharapkan terutama Pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan nasional - formal di Indonesia dalam upaya menindaklajuti kebijakan dan sistem pendidikan nasional, membaharui kurikulum, isi dan metodenya tetap harus memperhatikan aspek penyadaran (konsientisasi) bagi segenap peserta didik bahwa pendidikan pertama-tama bukanlah untuk mempersiapkan tamatan yang laku keras dalam arti untuk langsung bekerja tetapi lebih pada usaha untuk memanusiakan manusia, menjadikan manusia pribadi yang dewasa dan matang, kreatif, mandiri dan inovatif di dalam masyarakat. Artinya pendidikan hanya berusaha untuk menyiapkan dan memampukan seseorang paling kurang untuk menciptakan lapangan kerja bagi dirinya sendiri. Tentu sangat diharapkan pula agar Pemerintah dalam ekspansi pendidikan yang mewajibkan dan kini semakin meluas juga memikirkan bagaimana upaya untuk mengimbangi para lulusan dalam masyarakat itu. Itu berarti Pemerintah juga perlu memikirkan perluasan lapangan kerja yang layak dan memadai untuk menampung para lulusan yang bertambah terus menerus dari tahun ke tahun. Dengan demikian maka dampak sosial yang buruk seperti kriminalitas, provokasi-provokasi yang menimbulkan kerusuhan, prostitusi bisa diminimalisir atau dikurangi.
Drs. Stefan Sikone, MM adalah guru di SMAN 1 Tengaran-Kab. Semarang, sedang menyelesaikan studi pada Program Pasca Sarjana (S2) Teknik Informatika di Universitas Dian Nuswantoro Semarang.